Buletin Kaffah
No. 087, 14 Sya’ban 1440 H-19 April 2019 M
PEMIMPIN ADIL DAN AMANAH
Dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting. Untuk apa? Tidak
lain untuk menegakkan, memelihara dan mengemban agama ini.
Pentingnya kekuasaan sejak awal
disadari oleh Rasulullah saw. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT melalui
firman-Nya:
وَقُلْ
رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ
لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku,
masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara
keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan
frasa “waj’alli min ladunka sulthân[an]
nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam
ayat ini jelas Rasulullah saw. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau
untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau
memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan
Kitabullah, memberlakukan hudûd
Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Tafsîr Ibn Katsîr, 5/111).
Karena
itu tepat ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya agama berdampingan
dengan kekuasaan:
اَلدِّيْنُ
وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا
لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua
saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan
adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang
tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qal’i, Tadrîb
ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).
Imam al-Ghazali juga menjelaskan:
اَلدِّيْنُ
وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وَلَدَا مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua
saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî
Nashîhah al-Mulk, 1/19).
Apa yang dinyatakan oleh Imam
al-Ghazali setidaknya menegaskan apa yang pernah dinyatakan sebelumnya oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah
seorang amil-nya. Di dalam surat
tersebut antara lain beliau mengungkapkan:
وَ الدِّيْنُ
وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ فَلاَ يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ اْلآخَرِ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua
saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib
al-Idâriyah [Nizhâm al-Hukûmah
an-Nabawiyyah], 1/395).
Berdasarkan
makna firman Allah SWT dan penegasan para ulama di atas bisa disimpulkan: Pertama, sejak awal Islam dan kekuasaan
tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berdampingan dan menguatkan. Kedua, sejak awal pula kekuasaan
diorientasikan untuk menegakkan dan menjaga agama (Islam). Karena itu sepanjang
sejarah politik Islam, sejak zaman Rasulullah saw. yang berhasil menegakkan
kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan Islam (Daulah Islam) di Madinah, yang
kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dengan sistem Khilafahnya, hingga
berlanjut pada masa Khilafah Umayyah, Abasiyyah dan Utsmaniyyah—selama tidak
kurang dari 14 abad—kekuasaan selalu diorientasikan untuk menegakkan, memelihara
bahkan mengemban Islam.
Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah
penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk
menegakkan, memelihara dan mengemban Islam. Dengan kata lain, penting dan wajib
menjadikan orang Muslim berkuasa, tetapi lebih penting dan lebih wajib lagi
menjadikan Islam berkuasa, yakni dengan menjadikan syariah Islam sebagai
satu-satunya aturan untuk mengatur negara, bukan yang lain.
Pemimpin yang Amanah
Dalam
Islam, pemimpin haruslah amanah. Pemimpin amanah adalah pemimpin yang bukan
hanya tidak mengkhianati rakyat yang telah memilih dirinya, tetapi yang lebih
penting adalah tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Di dalam al-Quran Allah
SWT telah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati
amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu (TQS
al-Anfal [8]: 27).
Menurut
Ibnu Abbas ra., ayat tersebut bermakna, “Janganlah
kalian mengkhianati Allah dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban-Nya dan
jangan mengkhianati Rasulullah dengan menanggalkan sunnah-sunnah (ajaran dan tuntunan)-nya...”
(Al-Qinuji, Fath al-Bayan fî Maqâshid
al-Qur’ân, 1/162).
Adapun
yang dimaksud dengan amanah dalam
ayat di atas—yang haram dikhianati—adalah apa saja yang telah diamanahkan oleh
Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya (Lihat: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsir, 1/367).
Tentu, kekuasan
adalah bagian dari amanah, bahkan salah satu amanah yang amat penting, yang
haram untuk dikhianati. Keharaman melakukan pengkhianatan terhadap amanah,
selain didasarkan pada ayat di atas, juga antara lain didasarkan pada hadis
penuturan Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَ إِنْ صَامَ وَ
صَلَّى وَ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ: إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
Ada tiga
perkara, yang siapapun melakukan tiga perkara tersebut, dia tergolong orang
munafik—meski dia shaum, shalat dan mengklaim dirinya Muslim—yaitu: jika
berkata, dusta; jika berjanji, ingkar; dan jika diberi amanah, khianat (Ibn Bathah, Al-Ibânah al-Kubrâ, 2/697).
Karena
itu siapa pun yang menjadi pemimpin wajib amanah. Haram melakukan
pengkhianatan. Apalagi Rasulullah saw. telah bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Tidak seorang
hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu tidak menjalankan
urusannya itu dengan penuh loyalitas, kecuali dia tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ وَ
هُوَ لَهَا غَاشٌ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ اْلجَنَّةَ
Tidaklah
seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia
menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR Muslim).
Terkait dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi, di dalam Syarh Shahîh Muslim, mengutip pernyataan Fudhail bin Iyadh, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja
yang diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama
maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu
urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa
besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak
menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari
unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah
dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud
pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad
untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di
tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini
dipandang telah mengkhianati umat.”
Pemimpin yang
Adil
Selain
amanah, seorang pemimpin juga wajib memimpin dengan adil. Sayang, sistem demokrasi sekular
saat ini sering melahirkan pemimpin yang tidak adil alias fasik dan zalim.
Mengapa? Sebab sistem demokrasi sekular memang tidak mensyaratkan pemimpin atau
penguasanya untuk memerintah dengan hukum Allah SWT. Saat penguasa tidak memerintah
atau tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, jelas dia telah berlaku zalim.
Allah SWT sendiri yang menegaskan demikian:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah
dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 5).
Alhasil, seorang pemimpin baru bisa
dan baru layak disebut sebagai pemimpin yang adil saat memerintah berdasarkan
al-Quran dan as-Sunnah, bukan dengan yang lain.
Khatimah
Sejak Rasulullah saw. diutus, tidak ada masyarakat
yang mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan adil kecuali dalam
masyarakat yang menerapkan sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang
terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasan mereka dalam membela Islam
dan kaum Muslim. Mereka adalah negarawan-negarawan ulung yang sangat dicintai
oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai
pemimpin yang memiliki akhlak yang agung dan luhur. Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq, misalnya, adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut. Namun,
beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian
kaum Muslim menolak kewajiban zakat, misalnya, beliau segera memerintahkan kaum
Muslim untuk memerangi mereka. Demikian pula saat banyak orng yang murtad dan
memberontak. Dengan begitu stabilitas dan kewibawaan Negara Islam bisa
dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang. Khalifah Umar bin
al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin.
Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal
dari jalan yang tidak benar (Lihat: Târîkh
al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb
at-Tahdzîb, XII/267).
Begitulah pemimpin saat menerapkan syariah Islam. WalLâhu a’lam. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ
رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap pemimpin (kepala negara)
adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan
rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. pun bersabda:
سَيِّدُ
الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan
mereka (HR Abu Nu‘aim).